
"Kalau dulu sebelum ada akses internet, komunikasi hanya dengan tetangganya, keiriannya masih sama tetangganya. Nah sekarang kan lebih luas", jelas Sujarwoto. Di Indonesia, kesenjangan sosial menyebabkan para pengguna medsos terpapar citra positif dan kebahagiaan dari teman-temannya yang lebih mapan. Mereka lalu membandingkannya dengan keadaan diri sendiri. Komparasi seperti ini menimbulkan perasaan kalah dan kehilangan. Keriuhan menimbulkan frustrasi Beberapa penelitian terkait juga menyebut penggunaan media sosial secara berlebih bisa menghilangkan kepuasan akan hidup dan menciptakan frustasi. Frustasi timbul karena media sosial yang terlalu riuh. Apalagi, Indonesia masih dalam masa transisi demokrasi sehingga warganya kerap serampangan dalam memberikan komentar dan melempar opini di dunia maya. Keributan yang masif dan dikonsumsi secara terus-menerus inilah yang menimbulkan perasaan frustasi. "Ditambah berita-berita yang tersebar di media sosial juga banyak berita negatif. Seperti kriminalitas, korupsi, dan sebagainya," jelas Sujarwoto yang meriset masalah ini bersama dua rekannya, Adi Cilik Pierawan dan Gindo Tampubolon.
"Sedikit banyak, itu membuat pembaca merasa depresi. Hal-hal itu perlu diperhatikan, kelihatannya tidak masalah tapi jika dibiarkan dalam jangka panjang akan jadi masalah," lanjutnya. Dia menyarankan warganet Indonesia agar lebih bijak dalam mengatur waktu bermedia sosial. Pemerintah juga bisa memberikan edukasi kepada masyarakat bagaimana menggunakan media sosial yang bijak dan memberikan penyukuhan pentingnya kesehatan mental. Penelitian yang dimulai sejak tahun 2016 ini lebih spesifik meneliti penggunaan media sosial populer seperti WhatsApp, Facebook dan Twitter. Data yang digunakan berasal dari Indonesia Family Survey (IFLS) pada tahun 2014 yang merepresentasikan 83 persen populasi di seluruh Indonesia. Dari IFLS, diambil responden sejumlah 22.423 orang dewasa yang berusia di atas 20 tahun dari 9.987 rumah tangga
No comments:
Post a Comment