Hukuman Mati Koruptor, Jargon Heroik Jokowi yang Nirsolusi

Jakarta,-- Hukuman mati koruptor mencabut saat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menghadiri peringatan Hari Antikoruptsi Sedunia di SMK 57 Jakarta, Senin (9/12).
Saat itu, Jokowi mendapat pertanyaan dari siswa kelas XII Harley Hermansyah. Harley mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi. Harley bertanya mengapa kenapa koruptor tak dihukum mati.
Jokowi kemudian menjelaskan aturan soal hukuman kepada koruptor ada di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan undnag-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun, sampai detik terkini belum ada koruptor dihukum mati.
Presiden mengatakan hukuman mati koruptor bisa saja diterapkan jika itu menjadi kehendak masyarakat pemerintah siap mendorong revisi UU Tipikor, agar hukuman mati bagi koruptor bisa masuk dalam ancaman hukuman.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor [hukuman mati] itu dimasukkan. Tapi, sekali lagi juga termasuk [kehendak] yang ada dilegislatif [DPR]," ujar Jokowi.
Namun, wacana hukuman mati bagi koruptor yang disampaikan Jokowi itu dianggap tak substansial. Selain itu, pernyataan Jokowi dinilai hanya sebatas jargon belaka di tengah ancaman pemberantas korupsi.
Direktur Pusat Studi Konstitusional (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan wacana hukuman mati bagi koruptor yang disinggung Jokowi hanya akan memunculkan perdebatan baru.
"Bagi saya memperdebat hal hal yang panjang lebar, tidak juga bermanfaat bagi pemberantas korupsi, memberikan wacana yang tidak akan menyelesaikan masalah," kata Feri saat dikonfirmasi, Selasa (10/12).
Feri menilai pidana mati menjadi perdebatan selama ini, karena banyak yang menolak penerapan hukuman tersebut. Menurutnya, ketimbang tindakan yang konkret dalam pemeberantasan korupsi.
Hal yang paling utama, kata Feri, Jokowi berani menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undnag-undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-undnag Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK serta menegaskan tak lagi memberikan grasi kepada koruptor.
"Bagi saya presiden sedang membangun perdebatan baru saja, agar kemudian kita melupakan hal-hal yang lebih penting," ujar Feri.

Dihubungi terpisah, Direktur Amar Law Firm Alghiffari Aqsa mengatakan Jokowi luput membaca UU Tipikor karena sebenarnya hukuman mati bagi koruptor sudah diatur. Tepatnya pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
"Hukuman mati untuk koruptor saya tidak lebih jargon heroik," kata Aqsa.
Aqsa berpendapat hukuman mati tidak membuat orang takut untuk korupsi. Menurut Aqsa untuk lebih menggaungkan serta menimbulkan efek jera bagi koruptor adalah lewat pemiskinan, pencabutan hak politik, hingga larangan menduduki jabatan strategis.
"Hukuman mati juga melanggar Hak Asasi Manusia," ujar Aqsa beralasan bahwa hukuman mati tak tepat.
No comments:
Post a Comment