Hoaks 'Babi' dan Bayi Wien Bernama Vaksin

Jakarta, -- Wien Andriyani (49) cekatan menumpuk satu persatu kotak Vaksin Jerap Td, vaksin untuk Tetanus, di rak di dalam kamar pendingin (cold room) vaksin Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersuhu 2-8 derajat Celcius. Ia berlindung dari seragapan udara dingin dengan memakai jaket hitam tebal, lengkap dengan tudung dipasang di kepala.
Pegawai Seksi Kefarmasian Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinkes DKI itu tak sembarangan menumpuknya. Kotak-kotak itu bak batu-bata yang disusun selang seling per blok, bagian bawah dibuat berbaris searah rak, bagian atasnya disusum berbanjar. Begitu seterusnya ke atas.
Tak hanya itu, susunan itu tak boleh terlalu rapat. Wien memberi jeda antara tiap kotak sekitar satu jari.
"Harus ditata, ada jaraknya, karena ini ruangan dingin, jadi biar serkulasi udara masuk. Ada lah itu jarak per kotak itu satu jari, ada di pedoman ," jelas dia.
Wien menjelaskan bahwa beberapa jenis vaksin sensitif beku dan harus langsung dimasukkan ke kamar pendingin. Dinkes DKI sendiri memliki dua kamar pendingin dan tujuh freezer. Ruang penyimpanan itu bak lemari es besar.
Ia dan para pegawai lainnya harus memberi jeda pada tubuh mereka meski sudah memakai jaket tebal. Alhasil, rutinitas penyusun vaksin itu bisa dilakukan berjam-jam. Terlebih saat banyak stok vaksin datang. Wien mengaku bisa seharian penuh berkutat pada urusan penempatannya.
"Satu harian penuh itu saya bisa hanya menyusun saja. Karena kan itu ruangan dingin juga, jadi saya keluar masuk," akui dia.
Tugasnya tak hanya menyusun kotak. Wien juga wajib memastikan pencatatam valsin demi tertib administrasi. Sejumlah label penanda masing-masing vaksin pun ia tempel rak.

Bak Menjaga Bayi
Sudah sepuluh tahun ia melakukan tugas itu. Ia pun hapal dengan runutan pengelolaan vaksin ini. Yakni, perlakuan saat vaksin datang, pemantauan suhu, upaya untuk memastikan kapasitas penyimpanan melalui peralatan rantai vaksin, pengelolaan stok, dan ditribusi.
Meski begitu, ia Wien menggaris bawahi soal upaya menjaga kualitas vaksin dengan memantau suhunya. Saat mulai menerima vaksin dari Biofarma, ia langsung mengecek Vaccine Vial Monitor (VVM), yang merupakan indikator paparan suhu panas, pada botol.
Bentuknya VVM seperti label berwarna putih akan berubah perlahan menjadi abu-abu ketika vaksin terpapr panas. Ia juga mesti mengecek Freeze-Tag, alat untuk memantau suhu dingin.
Wien menyebut ada dua jenis vaksin berdasarkan sensitivitas suhunya. Yakni vaksin yang sensitif beku, disimpan di suhu 2-8 derajat. Sementara, yang sensitif panas disimpan pada suhu 15-25 derajat celcius.
"Tempat penyimpanan juga terisah, itu yang selalu saya cek pagi dan sore itu. Jadi perlakuannya berbeda," sambung dia.
Saking pedulinya pada vaksin, Wien langsung mengecek monitor pemantauan suhu begitu menjejakkan kaki ke ruang kerja. Para pekerja di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menyebut Wien sebagai orang yang pertama kali was-was ketika terjadi listrik padam. Wien pun menganggap vaksin bak anak.
"Saya bilang kan [ke rekan kerja], 'aduh, anak saya panas', "ucap Wien sambil memeragakannya dengan air muka gelisah, saat ruang pendingin itu naik suhunya.
"Sepertinya, ini saya sudah mendarah daging deh, kayak menyatu, kayak menjaga bayi gitu saya. Ada kepuasan sendiri kalau saya sudah bisa menjaga. Saya lihat begini, enggak bermasalah, sudah, Alhamdulliah aman," ia menambahkan.
Hoaks
Tak ayal, dirinya merasa nelangsa ketika mengingat kabar bohong atau hoaks tentang vaksin yang sudah mati-matian ia jaga itu.
"Ya ada kesalnya. Sedih,makanya kalau saya ketemu dengan orangnya langsung tuh, kalau bisa saya ajak tuh orang ke sini, biar melihat tempat penyimpanan kami," ungkap dia.
Sejak lama, muncul kekhawatiran dari para orang tua terkait dampak pemberian vaksin. Di media sosial banyak beredar kabar soal kandungan babi dalam vaksin, dampaknya berupa autisme, hingga konspirasi Yahudi untuk melemahkan umat Islam. Meskipun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan sertifikat halalnya.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada anak usia 12-23 bulan hanya 57,9 persen atau turun dibanding lima tahun silam. Artinya, dari skeitar 6 juta bocah hanya sekitar 2,5 juta yang lengkap imunisasinya. Salah satu yang memengaruhi tak tercapainya capaian adalah hoaks atau kabar bohong mengenai vaksin.
Padahal, riset Badan Kesehatan Dunia (WHO) di 73 negara mengungkapkan vaksinasi mampu menyelamatkan kerugian yang ditumbulkan sebesar US$350 miliar atau hampir Rp5.000 triliun untuk biaya perawatan kesehatan dan mencapai 20 juta kematian. Angka ini belum mencakup nilai ekonomi dan sosual yang lebih luas.
Bagaimanapun juga, Wien hanya sesekali merasa kesal. Ia tak mau ambil pusing dengan omongan orang yang tak bisa dibuktikan maupun media sosial. Yang ia lakukan kini, adalah terus memastikan vaksin yang ia rawat itu bermanfaat.
"Kan yang penting bagaimana vaksin ini masih ada manfaatnya," tutup dia.
No comments:
Post a Comment