Alasan Psikologis di Balik Langkanya Tisu Toilet Kala Corona



Alasan Psikologis di Balik Langkanya Tisu Toilet Kala Corona

Alasan Psikologis di Balik Langkanya Tisu Toilet Kala Corona

Jakarta,-- Merebaknya wabah virus corona jenis baru atau SARS CoV-2 mmebuat penjualan masker dan hand sanitizer meroket. Di Indonesia misalnya, berhari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus positif Covid-19, kedua barang terbilang langka.

Meski sebetulnya, anjuran ahli dan dokter untuk mencegah penyebaran wabah adalah dengan menerapkan perlikau hidup bersih dan sehat. Termasuk mencuci tangan dengan air dan sabun antiseptik.

Fenomena lain di tengah wabah corona itu adalah kepanikan membeli tisu toilet. Bahkan di supermarket di Australia seperti dikutip Nine News Australia warga berebut berbelanja tisu toilet.

Lantas, mengapa tisu toilet mejadi demikian penting di tengah penyebaran virus corona?

Berikut beberapa alasna psikologis di balik fenomena kelangkaan tisu toilet di negara-negara Eropa, Australia juga Amerika.

1. Kekacauan pesan
Steven Taylor, penulis dan psikolog klinis, menilai dibanding pandemi di masa lalu, respons global terhadap epidemi virus corona telah menjadi salah satu kepanikan yang meluas.

"Di satu sisi, responsnya dapat dimengerti, tetapi di sisi lain itu berlebihan. Kita bisa bersiap tanpa panik," kata Taylor.

Karena baru, masih banyak hal yang belum diketahui. Ketika orang mendengarkan pesan yang bertentangan tentang risiko virus dan seberapa serius mereka harua bersiap, orang cenderung mengambil jalan yang ekstrem.

"Ketika orang dibertahu ada sesuatu yang berbahaya akan datang, tetapi yang perlu anda lakukan hanyalah mencuci tangan, tindakan itu tampaknya tidak sebanding dengan ancaman itu. Bahaya khusus membutuhkan tindakan pencegahan khusus," jelasnya.

2. Bereaksi terhadap arahan yang minim
Sebagian negara sudah melaksanakan karantina massal. Psikolog Baruch Fischloff melihat orang membeli tisu toilet dan logistik lain demia mempersiapkan jika hal tersebut juga terjadi di kota mereka.

"kecuali orang melihat ... otoritas berwenang menjanjikan tiap orang akan dilindungi, mereka meninggalkan tanda tanya akan kemungkinan kebutuhan tisu toilet ekstra, segera daripada nanti. Faktanya tidak ada lagi janji resmi untuk meningkatkan kemungkinan itu," jelasnya.

3. Panic Buying memicu panic buying
Percaya atau tidak, kepanikan itu menular, begitu pula dengan panic buying. Media massa melaporkan rak-rak kosong di supermarket, kelangkaan barang dan komentar orang yang panik membeli barang sehingga ini memicu orang untuk melakukan hal serupa.

Taylor menjelaskan manusia sebagai makhluk sosial saling memberikan isyarat untuk apa yang aman dan apa yang berbahaya.

"Dan ketika anda melihat seseorang di toko, panik membeli, itu dapat menyebabkan efek penularan rasa takut," ujarnya.

4. Keinginan untuk bersiap
CDC dan orgnisasi kesehatan di seluruh dunia menyarankan untuk tetap di rumah dan menghindari kontak dengan keramaian. Menurut Frank Farley, professor di Temple University, menilai persiapan memang menjadi hal yang alami dilakukan.

"Virus corona mengakibatkan psikologis untuk bertahan hidup, di mana kit ahrua hidup di rumah sebnayak mungkin dan sehingga harus menyetok logistik yang penting, dan itu termasuk tisu toilet. Bagaimanapun, jika kita kehabisan tisu toilet mau diganti pakai apa?" katanya.

5. Merasa bisa mengendalikan situasi
Gelombang kecemasan membuat orang tak hanya memikirkan dirinya sendiri tetapi juga keluarga. Kecemasan ini pun mengarah pada tindakan antisipastif.

"Orang-orang menjadi cemas sebelum infeksi yang sebenarnya. Mereka belum memikirkan gambaran yang lebih besar, seperti apa konsekuensi dari menimbun kertas toilet," kata Taylor.

Sedangkan Fischoff berpendapat membeli kertas toilet bisa mengembalikan rasa kontrol terhadap situasi.

"Jika itu memberi mereka rasa bahwa mereka telah melakukan semua yang bisa dilakukan, itu mungkin membebaskan mereka untuk memikirkan hal-hal lain selain virus corona," imbuh dia.
Share:

No comments:

Post a Comment

Labels