Menyongsong Nyepi di Tengah Riuh Corona




Menyongsong Nyepi di Tengah Riuh Corona



Jakarta,-- Bagi Agus Nugroho, perayaan Nugroho, perayaan Nyepi tahun ini agak berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karyawan sebuah perusahaan swasta ini terpaksa tak mudik ke kampung halamannya di Sidorejo, Lampung. Di tengah pandemi virus corona, ia dan istrinya mau tak mau tetap harus tinggal di Tangerang.

Padahal biasanya, Nyepi selalu jadi jadwal tetap bagi sekeluarga untuk pulang ke kampung halaman.

Virus corona membuat seluruh pemeluk agama mesti melakukan penyesuaian demi tetap memuji dan memuliakan Sang Pencipta. Sebelumnya, di beberapa tempat, umat Muslim untuk sementara meniadakan salat Jumat berjamaah.

Sedangkan umat Katolik, mau tak beribadah dengan mengandalkan siaran live streaming dan kuota internet. Penyesuaian pun dilakukan umat Hindu dalam menyongsong Nyepi.

Jelang Nyepi, ada dua ritual besar yang diselenggarakan yakni upacara Melasti digelar. Upacara ini bertujuan menyucikan diri.

Gde bercerita, kalau di Sidorejo, upacara diadakan di Pantai Pasir Putih. Bersama keluarga besar dan umat Hindu sekampung, upacara pun diisi dengan smebahyang, menyucikan benda sakral pura seperti arca, pralingga atau pratima, juga pada akhir upacara biasanya orang mencelupkan diri ke air.

"Ini karena di perantauan, di Tangerang, lalu ada surat dari PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) pusat, Melasti di Pantai Tanjung LEsung tapi hanya panitian Nyepi saja. Upacara memang ini tidka bisa ditiadakan, jadi diwakilkan. Tapi tetap dengan prosedur yakni jarak tetap dijaga," kata Gde, Selasa (24/3).

Perankan ogoh-ogoh perayaan Nyepi, ditiadakan. Sekalipun begitu, Gde Agus merasa hal ini sama sekali tak mengurangi makna Nyepi. Dia berkata, ogoh-ogoh alias raksasa menjadi simbol sifat buruk manusia seperti tamak, iri, juga dengki. Tanpa ritual pembakaran ogoh-ogoh, dia berpendapat orang tetap bisa menekan sifat negatif dalam dirinya.

Pada puncaknya, umat Hindu merayakan Nyepi. Menilik sejarahnya, dahulu kala di India terjadi peperangan antarsuku. Hinga akhirnya dinasti Kushana berkuasa dan mampu membawa perdamaian pada suku-suku di sana.

Dinasti tersebut pun memulai sang raja, Kanishka, menetapkan sistem kalender Saka (Caka) sebagai kalender kerajaan pada 78 M. Perayaan Nyepi lantas tak hanya dimaknai sebagai peringatan tahun baru melainkan juga perayaan akan perdamaian.

Gde mengatakan, Nyepi dirayakan dengan melaksanakan Catur Brata meliputi amati geni ( tidak menyalakan api atau memasak), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak berpegian) dan amati lelanguan (menghentikan aktivitas kesenangan duniawi).

Sejauh ini, persiapan Nyepi tidak menemui kendala meski dalam kondisi pandemi corona. Perlengkapan untuk sesaji pun tidak sulit dicari. Menurut dia, ada tiga yang wajib dipenuhi sebagai inti yakni bunga, air, dan api (dupa).

"Nyepi kayaknya bakal makin khusyuk ya karena semua orang (bukan cuma umat Hindu) enggak keluar rumah, Gde diikuti tawa.

"Kalau di Bali kan Nyepi ya semua orang Nyepi, enggak ada aktivitas. kalau di kota beda" lanjut dia lagi.

Gde Agus merasa, selalu ada hal positif yang bisa diambil dari setiap peristiwa di sekitar. Di satu sisi dia sedih tidak bisa merayakan Nyepi bersama keluarga besar, tetapi di sisi lain Nyepi bisa makin 'sepi' karena orang diimbau untuk tidak keluar rumah sejalan dengan imbauan pemerintah untuk #stayathome atau #dirumahaja demi memutus rantai penyebaran corona.

Ia memaknai Nyepi tahun ini sebagai sarana untuk semakin berintrospeksi diri menyikapi perubahan juga perkembangan zaman, serta soal bagaimana mesti berperilaku, bersikap di lingkup keluarga maupun masyarakat.

"Corona enggak jadi halangan beribadah," tutup dia.

Share:

No comments:

Post a Comment

Labels