Alasan Cuci Tangan Masih Jadi Kebiasaan yang Disepelekan
Jakarta,-- Aktivitas cuci tangan akhir-akhir ini jadi hal yang kerap dilakukan. Hampir di tempat umum selalu disediakan hand sanitizer.
Wastafel di toilet pun kerap diantre orang-orang yang ingin mencuci tangannya. Bisa jadi dalam hitungan beberapa menit sekali anda bisa mencuci tangan setidaknya 2 kali dengan 6-7 langkah cuci tangan yang tepat.
Barangkali ini bisa dianggap sebagai secuil dampak positif dari antara dampak negatif virus corona. Sebelum ramai Covid-19, cuci tangan bukan kegiatan yang lazim kecuali sebelum dan sesudah makan tanpa sendok.
Kini aktivitas cuci tangan makin digalakkan. Kampanye cuci tangan ditemui baik media sosial. Bahkan di toilet-toilet umum,, tedapat poster petunjuk mencuci tangan dengan benar.
Meski demikian, cuci tangan tampaknya masih dianggap sepele, Psikolog Rena Masri pun mengamati ada pengunjung mal yang tidak mencuci tangan setelah menggunakan toilet. Ada pula yang mengajak anaknya mencuci tangan tetapi hanya ala kadarnya.
Meski demikian, cuci tangan tampaknya masih dianggap sepele, Psikolog Rena Masri pun mengamati ada pengunjung mal yang tidak mencuci tangan setelah menggunakan toilet. Ada pula yang mengajak anaknya mencuci tangan tetapi hanya ala kadarnya.
Tak dimungkiri mayoritas orang Indonesia belum mencuci tangannya dengan cara yang benar. Menurut laporan Riskesdas, kecenderungan proporsi anak di atas usia 10 tahun mencuci tangan dengan benar baru mencapai 47 persen.
"Mungkin utamanya bagaimana disiplin kleuarga [diterapkan]. Mungkin tidak konsisten menanamkannya," kata Rena saat dihubungi via telepon pada Rabu (4/3).
Dia memberikan contoh anak diminta mencuci tangan sebelum makan. Namun tidak mencuci tangan setelah bermain di luar rumah. Kesadaran cuci tangan pun hanya tumbuh sebaga kegiatan wajib sebelum makan.
Untuk menanamkan kebiasan cuci tangan yang baik dan benar pada anak-anak, orang tua bisa melakukan beberapa cara. Misalnya, mendampingi anak saat cuci tangan. Di samping itu, anak juga melihat kebiasaan orang tua sehingga jika orang tua memiliki kebiasaan cuci tangan kurang benar, maka sulit jika ingin menanamkan kebiasaan cuci tangan yang benar pada anak.
Kebiasaan saat dewasa
Pembentukan karakter - salah satunya kebiasaan cuci tangan - paling baik dilakukan saat usia anak-anak. Saat dibiasakan secara konsisten, maka kebiasaan bisa menetap. Namun bukan bearti mereka yang sudah dewasa, kebiasaan tidak bisa ditanamkan dalam diri.
Menurut Rena, kebiasaan pada orang dewasa bisa ditanamakan asal ada pembiasaan dari orang sekitar. Pembiasaan bisa dilakukan dengan sering mengingatkan dan mendampingi.
Sementara itu akibat virus corona, upaya membangun kesadaran untuk cuci tangan dengan benar gencar dilakukan. Tak bisa dimungkri, virus corona menimbulkan ketakutan,kepanikan, rasa cemas sehingga sangat mungkin ada perubahan kebiasaan cuci tangan. Cuci tangan pun bisa lebih mengikuti standar atau petunjuk.
"Kita enggak tahu [kebiasaan] akan menetap atau enggak. Kalau orang merasakan manfaatnya, perilaku akan menetap," ujar dia.
Saat virus corona berangsur mereda, orang sekitar tidak lagi melakukan cuci tangan dengan benar, bisa saja orang kembali ke kebiasaan cuci tangan di awal. Bagaimana agar kebiasaan ini menetap?
"Kalau lingkungan mempertahankan perilaku tersebut, handa sanitizer di kantor atau tempat umum tetap dipertahankan, kebiasaan ini bisa menetap," kata Rena.
Di sisi lain terdapat kampanye-kampanye unik terkait cuci tangan. Bahkan ada yang memunculkan inisiatif untuk membuat tantangan (challenge) cuci tangan sambil menari. Rena berpendapat ini bisa menarik orang karena sedang 'in' alias kekinian.
"Mungkin saja mereka tertantang melakukan challenge bukan untuk mengubah kebiasaan cuci tangan," imbuhnya.
No comments:
Post a Comment