4 Masalah yang Belum Tuntas di Serial Dokumenter Tiger King



4 Masalah yang Belum Tuntas di Serial Dokumenter Tiger King


Jakarta, -- Penayangan serial dokumenter Tiger King di Netflix pada bulan ini berhasil menghibur orang-orang yang sedang melakukan karantina mandiri di rumah.

Pendeknya, serial dokumenter itu berkisah mengenai persaingan kotor antar kebun binatang di Amerika Serikat (AS) dalam menampilkan antraksi Si Kucing Besar, seperti harimau, macan, dan singa.

Walau drama dan tingkah oara karakter - salah satunya Joe Exotic, dalam serial dokumenter itu sangat kocak saking norak dan anehnya, namun ada sejumlah masalah mengenai populasi Si Kucing Besar yang belum tuntas di sana.

Salah satunya ialah soal tren memelihara hewan liar di kalangan orang kaya di AS.

Dikutip dari World Wild Life (WWF), berikut empat masalah soal Si Kucing Besar yang belum tuntas dalam serial dokumenter Tiger King.

1. Ada tren memilihara harimau di AS 

Diperkirakan ada sekitar 5.000 harimau yang menjadi hewan peliharaan di AS, sedangkan kurang dari 3.900 yang tersisa di alam liar.

Sebagian besar harimau di AS tinggal di kandang rumah, menajdi objek atraksi pinggir jalan, dan dikurung dalam fasilitas pengembangbiakan pribadi. Sangat menyedihkan.

Hanya sekitar 6 persen populasi harimau di AS yang tinggal di kebun binatang dengan sertifikasi legal dari badan resmi Association of Zoos and Aquariums.

Banyak pemilik harimau peliharaan di AS yang tidak memiliki kemampuan merawat hewan liar, membuat hewan-hewan ini rentan terhadap perlakuan beberapa contoh eksploitasi nyata.

Bukan cuma cara hidup harimau saja yang terancam, namun juga keselamatan orang di sekitarnya.

2. Belum ada hukum tegas

Keberatan harimau di AS saat ini dirasa belum dilindungi dengan payung hukum yang tegas "tegas dan terarah".

Tidak ada satu pun agen pemerintah yang memantau dan melacak lokasi semua harimau di Negeri Paman Sam, sehingga melaporkan aktivitasnya ke pemerintah pusat, sehingga pemantauan bakal lebih ketat.

Big Cat Public Safety Act juga bakal melarang orang-orang berinteraksi langsung dengan bayi harimau.

3. Kandang buatan bukanlah tempat konservasi 

Sesi bermain dan berfoto dengan bayi harimau menjadi sumber pemasukan yang besar bagi tempat wisata - yang sering berkedok tempat konservasi.

Semakin banyak permintaan, akan semakin sering mereka "memaksa" harimau untuk berkembang biak demi lahirnya bayi-bayi nan lucu dan menggemaskan.

Karena dipaksa kawin dan melahirkan secara cepat - sebagian besar terjadi di kandang yang tak layak, banyak bayi harimau yang gagal tumbuh besar dengan sempurna. Ini juga contoh lain eksploitasi hewan liar.

Kegiatan konservasi sejatinya ialah melindungi kawanan di alam aslinya, tanpa kandang buatan, sehingga mereka bisa beranak pinak dengan natural tanpa deadline.



4. Asia juga ikut bermasalah 

Jumlah harimau di "peternakan harimau" telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, dengan 7.000-8.000 harimau dilaporkan dikandangi di sejumlah besar fasilitas di seluruh Asia Timur dan Tenggara - terutama di China, Thailand, Laos, dan Vietnam.

Populasi "tawaan" ini jauh lebih tinggi dari 3.900 harimau yang diperkirakan tersisa di alam liar.

WWF percaya bahwa operasi "peternakan harimau" bakal mengganggu peningkatan populasi harimau di alam liar, tempat di mana mereka seharusnya hidup.
Share:

No comments:

Post a Comment

Labels